SELAMAT DATANG

BERHARAP SISWA MELEK TEKNOLOGI

image
“Hari gini…..tidak bisa komputer ?”
Sepenggal kalimat ini menjadi penggugah hati akan pengelolaan sistem pendidikan di negeri ini. Beragam pendapat sudah pasti diungkapkan, ada yang tersenyum sedikit mencibir, ada sebagian yang mengerutkan dahi tidak percaya atau bahkan banyak yang turut mengamini kenyataan itu di dunia pendidikan saat ini.
Sistem pendidikan yang berlangsung sejak diterapkannya kurikulum 2004, salah satu perubahan yang terjadi yakni adanya pengintegrasian pengajaran teknologi atau pelajaran Teknologi Informasi dan Komputer (TIK) di tingkatan SMP dan SMA/ SMK. Sebuah harap yang baik dan benar ditekankan oleh pemerintah akan hasil keluaran generasi di masa datang. Dengan total siswa di Indonesia yang lebih dari 20 juta jiwa, bukan tidak mungkin ke depan kita akan mampu mendudukkan siswa yang benar-benar melek teknologi di tingkatan Asia atau bahkan dunia.
Harap tinggi yang dijabarkan lewat tujuan pembelajaran dalam kurikulum 2004 akan pemahaman teknologi menjadi beban berat bagi pelaku pendidikan baik pemerintah, pihak sekolah ataupun masyarakat. Belum lagi kalau sudah membicarakan faktor pembiayaan, terkadang sulit mencari titik temu yang benar-benar memuaskan semua pihak. Banyak anggapan bahwa pembiayaan pendidikan selama ini berada di wilayah abu-abu. Ketentuan tentang siapa yang bertanggung jawab dalam pembiayaan pendidikan sejak awal sudah salah kaprah. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 46 Ayat (1) menyatakan bahwa pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Dalam rangka mewujudkan siswa yang melek teknologi diperlukan dukungan dana yang tidak sedikit serta tenaga pengajar yang memang sesuai dengan bidangnya (dimana tenaga pengajar/ guru yang professional selalu ditekankan dalam pelaksanaan pembelajaran). Hal ini menjadi pekerjaan yang tidak mudah bagi sekolah sebagai pelaksana langsung di lapangan.
Beberapa kenyataan perlu dijadikan pemikiran bersama:
Pertama, Fakta di lapangan banyak sekolah yang belum mampu untuk mengadakan laboraturium komputer/ alat pendukung pembelajaran TIK, atau sebenarnya mampu tapi tidak mau mengadakan dengan alasan akan menggangu kegiatan lain.
Kedua, Keterbatasan tenaga pengajar yang benar-benar professional akan pemahaman TIK di setiap sekolah. Dengan adanya tuntutan pengajaran TIK dalam kurikulum 2004 yang menjadikan kewajiban dalam pembelajaran, menuntut sekolah menerapkan “tidak ada rotan akar pun jadi” karena kenyataan saat ini belum ada sarjana TIK yang dikeluarkan oleh lembaga keguruan yang ditugaskan di setiap sekolah. Banyak tenaga pengajar TIK yang di ambil dari disiplin ilmu lain karena adanya tuntutan kurikulum.
Ketiga, Pendukung lain dalam pembelajaran seperti ruang kelas, listrik, dll yang tidak jarang dapat kita temukan di setiap sekolah. Kondisi umum yang ditemukan khususnya bagi sekolah-sekolah yang berada di daerah pelosok-pelosok adalah ketiadaaan pendukung termasuk kekurangan ruang kelas atau tidak adanya jaringan listrik yang memadai.
Mengingat beban berat sektor pendidikan yang harus diwujudkan dalam rangka memelekkan siswa akan teknologi, keputusan yang bijak kiranya jika anggaran sektor ini yang sudah diamanatkan oleh undang-undang sebesar 20% dari APBN segera dilaksanakan. Karena dengan melakukan penundaan-penundaan bukan tidak mungkin salah satu upaya memeleksan siswa terhadap pemahaman teknologi akan menjadi tertunda, atau bahkan menjadi mimpi di siang hari bolong.
Kita semua tentunya tidak rela melihat siswa-siswa sebagai generasi penerus malahan gagap teknologi, sehingga penyatuan sinergi dan pencarian titik temu permasalahan sektor pendidikan menjadi keharusan jika kita semua ingin menghasilkan generasi masa datang melek teknologi serta mampu bersaing di tingkatan Asia atau bahkan dunia. Semoga menjadi pemikiran semua pihak yang sadar akan pentingnya pendidikan ! Amien !

Pencarian DI WEB INI